Rabu, 06 April 2011

STEPANUS GEORGE SAA FISIKAWAN PAPUA

Anak Petani Papua Dengan Prestasi Dunia
www.AstroDigi.comSEPTINUS GEORGE SAA,

Nama Septinus George Saa meroket pada 2004. Saat berusia 18 tahun, dia menyabet penghargaan First Step to Nobel Prize in Physics 2004. Penghargaan itu mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Kini, dia telah lulus kuliah di Amerika.

KETIKA ditemui di kompleks studio Trans TV di Jakarta, Rabu malam lalu, Septinus George Saa tampak lelah. Pria itu memang baru saja ''digilir'' beberapa studio televisi. Dalam seminggu ini, dua stasiun televisi mengundang dia. Yakni, Global TV dalam acara talk show Rossy dan Trans 7 untuk acara Bukan Empat Mata. ''Capek sih, tapi menyenangkan,'' katanya.

Penampilan George sudah berbeda jika dibanding saat berusia belasan tahun dulu. Dia lebih gemuk dan cool. Penampilannya juga layaknya eksekutif muda, berkemeja lengan panjang dan celana licin. George kini mirip rapper asal Kanada, Aubrey Graham aka (also known as) Drake, yang populer dengan lagu Forever.

''Ah, enggak juga. Waktu kuliah di Amerika dulu malah ada yang mengira saya berasal dari Karibia dan Brazil. Tidak ada yang mengira dari Indonesia,'' ujarnya lantas terkekeh.

George kini memang lebih klimis dan trendi. Maklum, pria murah senyum itu kini bekerja di sebuah perusahaan migas asing yang beroperasi di Teluk Bintuni, Papua Barat, Papua. ''Aku menikmati pekerjaanku,'' katanya lantas membisikkan gaji dolar yang dia terima tiap tiga minggu.

Kini, dia juga enggan dipanggil Oge, nama kecilnya, yang populer saat masih tinggal di Kotaraja, Jayapura. ''George saja lah. Oge itu panggilan kecil saya,'' ujarnya.

Penampilannya yang modis tersebut sempat menjadi sasaran kelakar Rosiana Silalahi dalam talk show Rossy. ''Ini kalau kita ketemu di jalanan New York, nggak tahu kalau dia orang Indonesia. Orang nyangka dia rapper yang kesasar,'' kata Rosi -panggilan Rosiana- lantas tertawa. George pun membalas. ''Yeah, wazzup dude,'' ungkapnya.

Nasib George memang mujur. Pada 2004, dia mendapat First Step to Nobel Prize in Physics setelah mengikuti lomba fisika internasional itu di Polandia. Dalam kompetisi yang diikuti pelajar tingkat sekolah menengah di seluruh dunia tersebut, George menjagokan tesis berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Latice Network of Identical.

Dia menemukan rumus yang diberi namanya sendiri, George Saa Formula (Jawa Pos, 21 Mei 2004). Tesis itu merupakan hasil risetnya selama setahun. Dia menyisihkan ratusan peserta dari 73 negara setelah melalui penjurian yang sangat ketat.

First Step to Nobel Prize in Physics merupakan kompetisi bergengsi bagi pelajar sekolah tingkat menengah dari seluruh dunia. Waktu itu, dewan juri kompetisi yang berlangsung sejak 1993 tersebut terdiri atas 30 fisikawan yang berasal lebih dari 25 negara.

Setelah menerima penghargaan itu, George diganjar banyak fasilitas. Menteri pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar.

George sempat bingung memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mendatangi dirinya. ''Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,'' ungkap pria kelahiran 22 September 1986 tersebut.

Freedom Institute menawari George kuliah di luar negeri. Memilih negara mana pun akan dikabulkan. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah, tapi juga uang saku serta biaya hidup.

Pria penghobi basket itu sempat bingung memilih negara. Rizal Mallarangeng mengusulkan agar dirinya memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus untuk belajar dan melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan aerospace engineering di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration).

Di jurusan aerospace engineering alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science.

''Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don't need rocket science to figure it out,'' katanya lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang lulus.

George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.

Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya. ''Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang,'' tegasnya.

Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan sejam di bagian imigrasi. ''Saya hanya duduk dan diam selama sejam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris,'' tuturnya.

Karena itu, tahun pertama, George tak langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language Service di Cleveland, negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa Inggris. ''Saya mempelajari lagi grammar dan kosakata,'' jelas anak bungsu pasangan Silas Saa dan Nelly Wafom itu.

George lulus pada akhir 2009. Kini, dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute. ''Tiga minggu ini aku di Jakarta. Nanti ke laut lagi,'' katanya.

Pembaca bisa mendownload tulisan Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya dengan mengklik link berikut: The First Step to Nobel Prize in Physics Competition



IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Septinus George Saa, Peraih Nobel yang Santun
Kamis, 18 Maret 2010

Berharap ada orang Indonesia meraih Nobel? Ini rasanya bukan mimpi kosong.

Setidaknya, harapan itu membersit ketika pertengahan April lalu, Septinus George Saa, seorang putera Papua, memenangi kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics".

Ini adalah perlombaan bergengsi bagi sekolah tingkat menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri internasional di Polandia.

Sementara dalam Olimpiade Fisika, para perserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan.

Pada kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics" tersebut hasil riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.

Oge, demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon.

Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya "Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor" itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri.

Para juri yang terdiri dari 30 ahli fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol medali emas.

Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir kompetisi itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula.

Kemenangan Oge mengikuti jejak para jenius Indonesia sebelumnya. Lima tahun lalu I Made Agus Wirawan dari Bali juga meraih medali emas pada kompetisi serupa.

Oge adalah putera asli Papua. Tanah kelahirannya, di ujung timur Indonesia, hingga kini tak usai dilanda konflik.

Lima orang presiden yang datang dan pergi selama 59 tahun Indonesia merdeka tak pernah berhenti berjanji meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bumi cendrawasih sana. Tapi janji hanya janji.

Kemunculan Oge di panggung internasional seperti mengingatkan bahwa ada mutiara-mutiara bersinar yang perlu mendapat perhatian di kawasan timur Indonesia.

Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong.

Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce Wafom, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang, menanam umbi-umbian.

Sepulang dari Polandia nanti, Oge sudah memutuskan untuk mengambil studi S1-nya di Indonesia di Jurusan Fisika Universitas Pelita Harapan.

Meski sejumlah tawaran bantuan terus mengalir kepadanya untuk melanjutkan studi di luar negeri, di antaranya dari Group Bakrie dan Freeport, Oge merasa belum siap untuk meninggalkan tanah air.

Sumber : KOMPAS.com, 27 Juni 2004

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Septinus George Saa - Penemu Rumus Penghitung antara Dua Titik Rangkaian Resistor (Inventor Formula Between Two Points Countdown Series Resistor)
0 komentar 17:57 Diposkan oleh Elang Likaytanjua
Label: The Inventor


Rumus yang Ditemukan Diberi Namanya Sendiri. Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini sangat mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenangkan First Step to Nobel Prize in Physic yang meyisihkan saingan dari berbagai penjuru dunia. Bagaimana kehidupan sehari-hari Septinus George Saa?
Rumah yang beralamat di Perumahan Pemda II Kotaraja Blok B/27, Jayapura, itu begitu sederhana. Beratap seng. Meski terkesan sangat sederhana, rumah tersebut tetap tampak bersih dan rapi. Di rumah berukuran kecil itulah Oge -panggilan akrab Septinus George Saa- dibesarkan.
Anak bungsu di antara lima bersaudara tersebut hanya tinggal bersama salah seorang kakaknya. Sedangkan kedua orang tuanya bermukim di Sorong Selatan, salah satu kabupaten baru di Papua yang sangat jauh dari Jayapura. Belum lama ini, ayah Oge, Silas Saa, diangkat menjadi kepala Dinas Kehutanan Sorong Selatan.
Beruntung, saat koran ini datang, ibunda Oge, Nelly Wafom, sedang berada di rumah. Tampaknya, sejak mendampingi putra bungsunya menerima penghargaan dari Gubernur Solossa pada 2 Mei lalu, Nelly belum kembali ke Sorong Selatan. Sedangkan ayah Oge lebih dulu pulang.
"Saya juga sedang menunggu Oge," ujar Nelly ramah saat koran ini bertamu. Tampaknya, dia tak bisa menyembunyikan rasa bangganya atas prestasi yang berhasil diraih anaknya. Dia menunggu karena Oge saat ini tinggal di asrama sekolah SMAN 3 Buper, Jayapura.
Nelly yakin Oge akan pulang ke rumahnya siang itu. "Saya tahu dari agendanya semalam. Dia selalu menulis jadwalnya setiap hari. Dan, semalam dia bilang mau ketemu kepala Dinas Pendidikan Papua sekalian mampir ke rumah. Tapi, saya tidak tahu jam berapa," katanya.
Dalam obrolan santai siang itu, Nelly menuturkan masa kecil Oge. Berasal dari keluarga pegawai negeri biasa, Oge lahir di Manokwari pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal berpindah-pindah mengikuti orang tuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah dari orang tua.

Menurut Nelly, tanda-tanda kecerdasan Oge tampak sejak kecil. "Saya masih ingat, ketika kakak-kakaknya berangkat sekolah, Oge menangis minta ikut. Padahal, saat itu umurnya belum genap enam tahun. Karena ada ibu guru yang kami kenal baik, akhirnya terpaksa Oge dibelikan seragam dan diikutkan sekolah," ungkapnya.
Tampaknya, kemauan Oge itu kecil membuahkan hasil. Meski awalnya hanya ikut-ikutan kakaknya, prestasi dia tak terbendung. Semua pelajaran dilahapnya tanpa hambatan, sehingga dia terus mengikuti pelajaran. Di SD Vim Kotaraja, Jayapura, tempatnya sekolah, Oge menunjukkan prestasinya dengan menjadi juara umum saat lulus. Selanjutnya, dia langsung diterima di SLTP Santo Paulus Abepura tanpa tes. "Karena dianggap pintar, Oge langsung masuk SMP tanpa tes," jelas Nelly.
Lulus SMP dengan predikat sangat memuaskan, Oge pun kembali tersaring masuk ke sekolah unggulan di Papua, yaitu SMAN 3 Buper, Jayapura. Di sekolah itulah prestasi dunia Oge berawal.
Lalu, bagaimana reaksi Nelly ketika tahu Oge memenangkan penghargaan tersebut? Nelly justru terlambat mengetahuinya. "Saat itu saya tidak diberi tahu bahwa Oge berangkat ke Jakarta. Sebab, saya bersama bapak sedang bertugas di Merauke. Saya baru tahu saat Oge akan menerima penghargaan di Jakarta pada 23 April lalu. Omnya yang di Jakarta memberi tahu saya lewat telepon bahwa Oge akan menerima penghargaan dari menteri. Tapi, saya tidak percaya. Ah ko tipu! Saya bilang begitu," ujar Nelly berlogat Papua yang masih kental.
Setelah salah seorang anaknya yang kebetulan juga di Jakarta menelepon dan mengatakan hal yang sama, Nelly baru percaya. Tampaknya, saat itu Oge sudah hampir setahun pindah ke Jakarta. "Waktu itu, mereka (kakak-kakak Oge) sengaja menyembunyikannya dari saya bahwa Oge sudah berada di Jakarta. Sebab, kalau Oge mau pergi jauh, biasanya saya tidak mengizinkan," ungkapnya.
Nelly sangat kaget dan bersyukur setelah mengetahui anaknya berhasil menemukan rumus baru dan menerima penghargaan dunia. Meski sudah menyadari kepandaian anaknya, dia mengaku tak menyangka anaknya berhasil berprestasi luar biasa.
Setelah menunggu cukup lama dan Oge tak kunjung datang, akhirnya koran ini "mengejar" Oge ke sekolahnya di SMAN 3 Buper yang berjarak sekitar 15 km dari rumahnya.
Sebagai sekolah unggulan yang berisi murid-murid terpandai di Papua, letak SMAN 3 Buper sangat strategis. Yakni, jauh dari keramaian kota dan berada di ketinggian perbukitan Jayapura. Semua murid dan guru pasti bisa tenang melaksanakan belajar mengajar.
Siang itu, situasi sekolah cukup lengang. Usai pelaksanaan ujian akhir nasional, sebagian siswa sudah pulang ke daerah masing-masing. Wartawan koran ini langsung menuju kamar Oge. Sayangnya, Oge tak ada di kamar.
Di kamar berukuran besar tersebut, tiga ABG lagi asyik membuka sebuah laptop. "Wah, baru setengah jam lalu dia keluar naik motor Mas, nggak tahu ke mana, sekarang dia menjadi orang sibuk," kata Darlos, teman sekamar Oge.
Ternyata, laptop yang mereka mainkan adalah milik Oge, yang baru dibelinya di Jakarta. Berdasar penuturan Darlos, Oge memang tergolong pintar di sekolahnya. Bahkan, karena prestasinya yang menonjol, Oge terpilih menjadi ketua OSIS. "Memang, dia (Oge), orangnya, pintar sekali, terutama soal pelajaran eksak. Kalau kami tak tahu pelajaran yang diberikan guru, dia sering mengajarkan kami, IQ-nya tinggi," kata Darlos.
Dalam pergaulannya sehari-hari di sekolah, Oge bukan anak yang sombong dan suka pilih-pilih teman. "Dia mau bergaul dengan siapa saja," kata Darlos sambil memberikan tiga nomor handphone Oge. "Tapi, kalau lagi naik motor, Oge mematikan HP-nya," tambah Darlos.
Setelah dikontak, akhirnya kami berjanji bertemu di rumahnya. Seperti remaja lainnya, Oge, yang kini berusia 19 tahun itu, senang dengan pakaian sportif. Pada saat ditemui di rumahnya, Oge baru pulang dari melayat di rumah salah seorang temannya. Dia masih mengenakan celana seragam warna abu-abu, kaus hitam, dan sepatu cats hitam. Dengan senyum ramah, Oge mempersilakan wartawan koran ini masuk.
Oge mengaku tertarik dengan fisika sejak kelas satu SMA. "Awalnya, saya tidak terlalu tertarik. Tapi, sejak kelas satu SMA, saya mulai belajar dan tertarik dengan fisika," ujar murid kelas tiga yang memiliki hobi bermain basket itu.
Langkah awal Oge mengikuti lomba fisika internasional ?First Step to Nobel Prize in Physics? adalah saat Gubernur Papua J.P. Solossa mengirimkan enam siswa SMA 3 Buper ke Jakarta pada 6 Juli 2003. Keenam siswa pilihan tersebut akan diseleksi untuk mengikuti lomba di bidang pendidikan. Di antara keenam siswa itu, Oge ikut terpilih.
Sejak itulah, Oge mulai berdomisili di Jakarta dan digembleng dengan ilmu fisika di bawah tenaga pengajar berpengalaman di Universitas Pelita Harapan Jakarta. Oge langsung berangkat ke India untuk mengikuti lomba matematika internasional. "Saya hanya meraih peringkat delapan," ujar Oge, kecewa dengan prestasi luar biasa itu.
Sepulang dari India, Oge kembali lolos dan berhak ikut lomba ?First Step to Nobel Prize in Physics? yang diselenggarakan di Polandia. "Tapi, saya belum pernah ke sana. Karena itu, semua rumus saya dikirimkan lewat email," kata Oge.
Sebagai salah satu syarat mengikuti lomba tersebut, Oge menemukan sebuah rumus yang diberi nama George Saa Formula. Nama rumusnya itu, diambil dari nama panjang Oge, - Septinus George Saa - sebagai penemu. "Rumus itu adalah pengembangan Hukum Kirchoff. Dengan rumus saya tersebut, Hukum Kirchoff bisa disederhanakan lagi," ujarnya, mencoba menerangkan secara praktis rumus penemuannya.
Berdasar penuturan Oge, tesis yang diikutkan lomba itu diberi judul Infinite Triangle and Hexagonal Latice Network of Identical. Dengan rumus baru itu, Oge berhasil menemukan cara lebih sederhana untuk menghitung resistor dari dua titik dalam sebuah jaringan. "Rumus itu bisa diaplikasikan ke banyak hal, bahkan kalau dikembangkan lagi dalam riset, dengan rumus itu, batu bara bisa diubah menjadi emas!" ujarnya bersemangat.
Untuk menemukan rumus tersebut, Oge harus belajar setiap hari secara intensif. Bahkan, tak jarang, dia lupa istirahat. "Kalau sudah pusing, saya dan teman-teman lain di Jakarta main ke Time Zone," katanya polos. Akhirnya, setelah empat kali menuangkannya dalam makalah, rumus ciptaannya lolos dalam tes yang menggunakan program komputer. "Pada saat lolos tes itu, saya yakin, penemuan saya akan menang," tandasnya.
Setelah dikirim ke Polandia, hasil makalah Oge dinilai tim ahli dari seluruh dunia. Hasilnya, Oge keluar menjadi pemenang dan menyingkirkan 78 peserta lain yang datang dari berbagai belahan bumi. Untuk mempertanggungjawabkan rumus tersebut, November tahun ini, Oge diundang ke Polandia untuk mempresentasikan hasil penemuannya, sekaligus menerima hadiah.
"Sekarang, saya tinggal mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sana. Saya akan mengambil kursus bahasa Inggris dan belajar memberikan presentasi yang baik sebelum berangkat ke Polandia," kata Oge yang mengaku belum punya pacar itu.
Jalan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, kini terbuka lebar. Tak tanggung-tanggung, Oge mendapatkan kebebasan untuk memilih seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia. Bahkan, tak menutup kemungkinan, universitas luar negeri juga membuka pintu bagi Oge.
"Pada saat memberikan penghargaan kepada saya pada 23 April, Bapak Menteri Malik Fajar mengatakan kepada semua rektor yang saat itu hadir bahwa saya bisa diterima di seluruh perguruan tinggi di Indonesia tanpa tes. Pak menteri juga mengatakan, universitas yang menerima saya wajib memberikan fasilitas belajar kepada saya," kata Oge.
Meski mengaku pernah menerima tawaran dari Rektor ITB untuk kuliah di sana, hingga kini, Oge mengaku masih bingung menentukan pilihan melanjutkan kuliah. Karena harus pergi ke Polandia tahun ini, rencananya, Oge baru akan masuk kuliah tahun depan. "Saya masih bingung, mungkin baru tahun depan, saya tahu mau kuliah di mana," katanya polos.
Berkat prestasinya, Oge sudah mengumpulkan berbagai hadiah, termasuk uang Rp 10 juta dari mendiknas, Rp 20 juta dari Gubernur Papua dan seperangkat komputer dari Dinas P dan K Provinsi Papua. "Tapi, komputernya belum saya terima," ujarnya sambil tersenyum

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

1 komentar:

  1. Thank's telah sharing my post.... I Love Indonesian Smart People... leave a comment in my blog

    BalasHapus