Rabu, 06 April 2011

STEPANUS GEORGE SAA FISIKAWAN PAPUA

Anak Petani Papua Dengan Prestasi Dunia
www.AstroDigi.comSEPTINUS GEORGE SAA,

Nama Septinus George Saa meroket pada 2004. Saat berusia 18 tahun, dia menyabet penghargaan First Step to Nobel Prize in Physics 2004. Penghargaan itu mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Kini, dia telah lulus kuliah di Amerika.

KETIKA ditemui di kompleks studio Trans TV di Jakarta, Rabu malam lalu, Septinus George Saa tampak lelah. Pria itu memang baru saja ''digilir'' beberapa studio televisi. Dalam seminggu ini, dua stasiun televisi mengundang dia. Yakni, Global TV dalam acara talk show Rossy dan Trans 7 untuk acara Bukan Empat Mata. ''Capek sih, tapi menyenangkan,'' katanya.

Penampilan George sudah berbeda jika dibanding saat berusia belasan tahun dulu. Dia lebih gemuk dan cool. Penampilannya juga layaknya eksekutif muda, berkemeja lengan panjang dan celana licin. George kini mirip rapper asal Kanada, Aubrey Graham aka (also known as) Drake, yang populer dengan lagu Forever.

''Ah, enggak juga. Waktu kuliah di Amerika dulu malah ada yang mengira saya berasal dari Karibia dan Brazil. Tidak ada yang mengira dari Indonesia,'' ujarnya lantas terkekeh.

George kini memang lebih klimis dan trendi. Maklum, pria murah senyum itu kini bekerja di sebuah perusahaan migas asing yang beroperasi di Teluk Bintuni, Papua Barat, Papua. ''Aku menikmati pekerjaanku,'' katanya lantas membisikkan gaji dolar yang dia terima tiap tiga minggu.

Kini, dia juga enggan dipanggil Oge, nama kecilnya, yang populer saat masih tinggal di Kotaraja, Jayapura. ''George saja lah. Oge itu panggilan kecil saya,'' ujarnya.

Penampilannya yang modis tersebut sempat menjadi sasaran kelakar Rosiana Silalahi dalam talk show Rossy. ''Ini kalau kita ketemu di jalanan New York, nggak tahu kalau dia orang Indonesia. Orang nyangka dia rapper yang kesasar,'' kata Rosi -panggilan Rosiana- lantas tertawa. George pun membalas. ''Yeah, wazzup dude,'' ungkapnya.

Nasib George memang mujur. Pada 2004, dia mendapat First Step to Nobel Prize in Physics setelah mengikuti lomba fisika internasional itu di Polandia. Dalam kompetisi yang diikuti pelajar tingkat sekolah menengah di seluruh dunia tersebut, George menjagokan tesis berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Latice Network of Identical.

Dia menemukan rumus yang diberi namanya sendiri, George Saa Formula (Jawa Pos, 21 Mei 2004). Tesis itu merupakan hasil risetnya selama setahun. Dia menyisihkan ratusan peserta dari 73 negara setelah melalui penjurian yang sangat ketat.

First Step to Nobel Prize in Physics merupakan kompetisi bergengsi bagi pelajar sekolah tingkat menengah dari seluruh dunia. Waktu itu, dewan juri kompetisi yang berlangsung sejak 1993 tersebut terdiri atas 30 fisikawan yang berasal lebih dari 25 negara.

Setelah menerima penghargaan itu, George diganjar banyak fasilitas. Menteri pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar.

George sempat bingung memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng mendatangi dirinya. ''Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,'' ungkap pria kelahiran 22 September 1986 tersebut.

Freedom Institute menawari George kuliah di luar negeri. Memilih negara mana pun akan dikabulkan. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah, tapi juga uang saku serta biaya hidup.

Pria penghobi basket itu sempat bingung memilih negara. Rizal Mallarangeng mengusulkan agar dirinya memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus untuk belajar dan melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan aerospace engineering di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration).

Di jurusan aerospace engineering alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science.

''Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don't need rocket science to figure it out,'' katanya lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang lulus.

George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.

Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya. ''Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang,'' tegasnya.

Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan sejam di bagian imigrasi. ''Saya hanya duduk dan diam selama sejam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris,'' tuturnya.

Karena itu, tahun pertama, George tak langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language Service di Cleveland, negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa Inggris. ''Saya mempelajari lagi grammar dan kosakata,'' jelas anak bungsu pasangan Silas Saa dan Nelly Wafom itu.

George lulus pada akhir 2009. Kini, dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute. ''Tiga minggu ini aku di Jakarta. Nanti ke laut lagi,'' katanya.

Pembaca bisa mendownload tulisan Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya dengan mengklik link berikut: The First Step to Nobel Prize in Physics Competition



IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Septinus George Saa, Peraih Nobel yang Santun
Kamis, 18 Maret 2010

Berharap ada orang Indonesia meraih Nobel? Ini rasanya bukan mimpi kosong.

Setidaknya, harapan itu membersit ketika pertengahan April lalu, Septinus George Saa, seorang putera Papua, memenangi kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics".

Ini adalah perlombaan bergengsi bagi sekolah tingkat menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri internasional di Polandia.

Sementara dalam Olimpiade Fisika, para perserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan.

Pada kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics" tersebut hasil riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.

Oge, demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon.

Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya "Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor" itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri.

Para juri yang terdiri dari 30 ahli fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol medali emas.

Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir kompetisi itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula.

Kemenangan Oge mengikuti jejak para jenius Indonesia sebelumnya. Lima tahun lalu I Made Agus Wirawan dari Bali juga meraih medali emas pada kompetisi serupa.

Oge adalah putera asli Papua. Tanah kelahirannya, di ujung timur Indonesia, hingga kini tak usai dilanda konflik.

Lima orang presiden yang datang dan pergi selama 59 tahun Indonesia merdeka tak pernah berhenti berjanji meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bumi cendrawasih sana. Tapi janji hanya janji.

Kemunculan Oge di panggung internasional seperti mengingatkan bahwa ada mutiara-mutiara bersinar yang perlu mendapat perhatian di kawasan timur Indonesia.

Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong.

Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce Wafom, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang, menanam umbi-umbian.

Sepulang dari Polandia nanti, Oge sudah memutuskan untuk mengambil studi S1-nya di Indonesia di Jurusan Fisika Universitas Pelita Harapan.

Meski sejumlah tawaran bantuan terus mengalir kepadanya untuk melanjutkan studi di luar negeri, di antaranya dari Group Bakrie dan Freeport, Oge merasa belum siap untuk meninggalkan tanah air.

Sumber : KOMPAS.com, 27 Juni 2004

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Septinus George Saa - Penemu Rumus Penghitung antara Dua Titik Rangkaian Resistor (Inventor Formula Between Two Points Countdown Series Resistor)
0 komentar 17:57 Diposkan oleh Elang Likaytanjua
Label: The Inventor


Rumus yang Ditemukan Diberi Namanya Sendiri. Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini sangat mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenangkan First Step to Nobel Prize in Physic yang meyisihkan saingan dari berbagai penjuru dunia. Bagaimana kehidupan sehari-hari Septinus George Saa?
Rumah yang beralamat di Perumahan Pemda II Kotaraja Blok B/27, Jayapura, itu begitu sederhana. Beratap seng. Meski terkesan sangat sederhana, rumah tersebut tetap tampak bersih dan rapi. Di rumah berukuran kecil itulah Oge -panggilan akrab Septinus George Saa- dibesarkan.
Anak bungsu di antara lima bersaudara tersebut hanya tinggal bersama salah seorang kakaknya. Sedangkan kedua orang tuanya bermukim di Sorong Selatan, salah satu kabupaten baru di Papua yang sangat jauh dari Jayapura. Belum lama ini, ayah Oge, Silas Saa, diangkat menjadi kepala Dinas Kehutanan Sorong Selatan.
Beruntung, saat koran ini datang, ibunda Oge, Nelly Wafom, sedang berada di rumah. Tampaknya, sejak mendampingi putra bungsunya menerima penghargaan dari Gubernur Solossa pada 2 Mei lalu, Nelly belum kembali ke Sorong Selatan. Sedangkan ayah Oge lebih dulu pulang.
"Saya juga sedang menunggu Oge," ujar Nelly ramah saat koran ini bertamu. Tampaknya, dia tak bisa menyembunyikan rasa bangganya atas prestasi yang berhasil diraih anaknya. Dia menunggu karena Oge saat ini tinggal di asrama sekolah SMAN 3 Buper, Jayapura.
Nelly yakin Oge akan pulang ke rumahnya siang itu. "Saya tahu dari agendanya semalam. Dia selalu menulis jadwalnya setiap hari. Dan, semalam dia bilang mau ketemu kepala Dinas Pendidikan Papua sekalian mampir ke rumah. Tapi, saya tidak tahu jam berapa," katanya.
Dalam obrolan santai siang itu, Nelly menuturkan masa kecil Oge. Berasal dari keluarga pegawai negeri biasa, Oge lahir di Manokwari pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal berpindah-pindah mengikuti orang tuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah dari orang tua.

Menurut Nelly, tanda-tanda kecerdasan Oge tampak sejak kecil. "Saya masih ingat, ketika kakak-kakaknya berangkat sekolah, Oge menangis minta ikut. Padahal, saat itu umurnya belum genap enam tahun. Karena ada ibu guru yang kami kenal baik, akhirnya terpaksa Oge dibelikan seragam dan diikutkan sekolah," ungkapnya.
Tampaknya, kemauan Oge itu kecil membuahkan hasil. Meski awalnya hanya ikut-ikutan kakaknya, prestasi dia tak terbendung. Semua pelajaran dilahapnya tanpa hambatan, sehingga dia terus mengikuti pelajaran. Di SD Vim Kotaraja, Jayapura, tempatnya sekolah, Oge menunjukkan prestasinya dengan menjadi juara umum saat lulus. Selanjutnya, dia langsung diterima di SLTP Santo Paulus Abepura tanpa tes. "Karena dianggap pintar, Oge langsung masuk SMP tanpa tes," jelas Nelly.
Lulus SMP dengan predikat sangat memuaskan, Oge pun kembali tersaring masuk ke sekolah unggulan di Papua, yaitu SMAN 3 Buper, Jayapura. Di sekolah itulah prestasi dunia Oge berawal.
Lalu, bagaimana reaksi Nelly ketika tahu Oge memenangkan penghargaan tersebut? Nelly justru terlambat mengetahuinya. "Saat itu saya tidak diberi tahu bahwa Oge berangkat ke Jakarta. Sebab, saya bersama bapak sedang bertugas di Merauke. Saya baru tahu saat Oge akan menerima penghargaan di Jakarta pada 23 April lalu. Omnya yang di Jakarta memberi tahu saya lewat telepon bahwa Oge akan menerima penghargaan dari menteri. Tapi, saya tidak percaya. Ah ko tipu! Saya bilang begitu," ujar Nelly berlogat Papua yang masih kental.
Setelah salah seorang anaknya yang kebetulan juga di Jakarta menelepon dan mengatakan hal yang sama, Nelly baru percaya. Tampaknya, saat itu Oge sudah hampir setahun pindah ke Jakarta. "Waktu itu, mereka (kakak-kakak Oge) sengaja menyembunyikannya dari saya bahwa Oge sudah berada di Jakarta. Sebab, kalau Oge mau pergi jauh, biasanya saya tidak mengizinkan," ungkapnya.
Nelly sangat kaget dan bersyukur setelah mengetahui anaknya berhasil menemukan rumus baru dan menerima penghargaan dunia. Meski sudah menyadari kepandaian anaknya, dia mengaku tak menyangka anaknya berhasil berprestasi luar biasa.
Setelah menunggu cukup lama dan Oge tak kunjung datang, akhirnya koran ini "mengejar" Oge ke sekolahnya di SMAN 3 Buper yang berjarak sekitar 15 km dari rumahnya.
Sebagai sekolah unggulan yang berisi murid-murid terpandai di Papua, letak SMAN 3 Buper sangat strategis. Yakni, jauh dari keramaian kota dan berada di ketinggian perbukitan Jayapura. Semua murid dan guru pasti bisa tenang melaksanakan belajar mengajar.
Siang itu, situasi sekolah cukup lengang. Usai pelaksanaan ujian akhir nasional, sebagian siswa sudah pulang ke daerah masing-masing. Wartawan koran ini langsung menuju kamar Oge. Sayangnya, Oge tak ada di kamar.
Di kamar berukuran besar tersebut, tiga ABG lagi asyik membuka sebuah laptop. "Wah, baru setengah jam lalu dia keluar naik motor Mas, nggak tahu ke mana, sekarang dia menjadi orang sibuk," kata Darlos, teman sekamar Oge.
Ternyata, laptop yang mereka mainkan adalah milik Oge, yang baru dibelinya di Jakarta. Berdasar penuturan Darlos, Oge memang tergolong pintar di sekolahnya. Bahkan, karena prestasinya yang menonjol, Oge terpilih menjadi ketua OSIS. "Memang, dia (Oge), orangnya, pintar sekali, terutama soal pelajaran eksak. Kalau kami tak tahu pelajaran yang diberikan guru, dia sering mengajarkan kami, IQ-nya tinggi," kata Darlos.
Dalam pergaulannya sehari-hari di sekolah, Oge bukan anak yang sombong dan suka pilih-pilih teman. "Dia mau bergaul dengan siapa saja," kata Darlos sambil memberikan tiga nomor handphone Oge. "Tapi, kalau lagi naik motor, Oge mematikan HP-nya," tambah Darlos.
Setelah dikontak, akhirnya kami berjanji bertemu di rumahnya. Seperti remaja lainnya, Oge, yang kini berusia 19 tahun itu, senang dengan pakaian sportif. Pada saat ditemui di rumahnya, Oge baru pulang dari melayat di rumah salah seorang temannya. Dia masih mengenakan celana seragam warna abu-abu, kaus hitam, dan sepatu cats hitam. Dengan senyum ramah, Oge mempersilakan wartawan koran ini masuk.
Oge mengaku tertarik dengan fisika sejak kelas satu SMA. "Awalnya, saya tidak terlalu tertarik. Tapi, sejak kelas satu SMA, saya mulai belajar dan tertarik dengan fisika," ujar murid kelas tiga yang memiliki hobi bermain basket itu.
Langkah awal Oge mengikuti lomba fisika internasional ?First Step to Nobel Prize in Physics? adalah saat Gubernur Papua J.P. Solossa mengirimkan enam siswa SMA 3 Buper ke Jakarta pada 6 Juli 2003. Keenam siswa pilihan tersebut akan diseleksi untuk mengikuti lomba di bidang pendidikan. Di antara keenam siswa itu, Oge ikut terpilih.
Sejak itulah, Oge mulai berdomisili di Jakarta dan digembleng dengan ilmu fisika di bawah tenaga pengajar berpengalaman di Universitas Pelita Harapan Jakarta. Oge langsung berangkat ke India untuk mengikuti lomba matematika internasional. "Saya hanya meraih peringkat delapan," ujar Oge, kecewa dengan prestasi luar biasa itu.
Sepulang dari India, Oge kembali lolos dan berhak ikut lomba ?First Step to Nobel Prize in Physics? yang diselenggarakan di Polandia. "Tapi, saya belum pernah ke sana. Karena itu, semua rumus saya dikirimkan lewat email," kata Oge.
Sebagai salah satu syarat mengikuti lomba tersebut, Oge menemukan sebuah rumus yang diberi nama George Saa Formula. Nama rumusnya itu, diambil dari nama panjang Oge, - Septinus George Saa - sebagai penemu. "Rumus itu adalah pengembangan Hukum Kirchoff. Dengan rumus saya tersebut, Hukum Kirchoff bisa disederhanakan lagi," ujarnya, mencoba menerangkan secara praktis rumus penemuannya.
Berdasar penuturan Oge, tesis yang diikutkan lomba itu diberi judul Infinite Triangle and Hexagonal Latice Network of Identical. Dengan rumus baru itu, Oge berhasil menemukan cara lebih sederhana untuk menghitung resistor dari dua titik dalam sebuah jaringan. "Rumus itu bisa diaplikasikan ke banyak hal, bahkan kalau dikembangkan lagi dalam riset, dengan rumus itu, batu bara bisa diubah menjadi emas!" ujarnya bersemangat.
Untuk menemukan rumus tersebut, Oge harus belajar setiap hari secara intensif. Bahkan, tak jarang, dia lupa istirahat. "Kalau sudah pusing, saya dan teman-teman lain di Jakarta main ke Time Zone," katanya polos. Akhirnya, setelah empat kali menuangkannya dalam makalah, rumus ciptaannya lolos dalam tes yang menggunakan program komputer. "Pada saat lolos tes itu, saya yakin, penemuan saya akan menang," tandasnya.
Setelah dikirim ke Polandia, hasil makalah Oge dinilai tim ahli dari seluruh dunia. Hasilnya, Oge keluar menjadi pemenang dan menyingkirkan 78 peserta lain yang datang dari berbagai belahan bumi. Untuk mempertanggungjawabkan rumus tersebut, November tahun ini, Oge diundang ke Polandia untuk mempresentasikan hasil penemuannya, sekaligus menerima hadiah.
"Sekarang, saya tinggal mempersiapkan diri sebelum berangkat ke sana. Saya akan mengambil kursus bahasa Inggris dan belajar memberikan presentasi yang baik sebelum berangkat ke Polandia," kata Oge yang mengaku belum punya pacar itu.
Jalan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, kini terbuka lebar. Tak tanggung-tanggung, Oge mendapatkan kebebasan untuk memilih seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia. Bahkan, tak menutup kemungkinan, universitas luar negeri juga membuka pintu bagi Oge.
"Pada saat memberikan penghargaan kepada saya pada 23 April, Bapak Menteri Malik Fajar mengatakan kepada semua rektor yang saat itu hadir bahwa saya bisa diterima di seluruh perguruan tinggi di Indonesia tanpa tes. Pak menteri juga mengatakan, universitas yang menerima saya wajib memberikan fasilitas belajar kepada saya," kata Oge.
Meski mengaku pernah menerima tawaran dari Rektor ITB untuk kuliah di sana, hingga kini, Oge mengaku masih bingung menentukan pilihan melanjutkan kuliah. Karena harus pergi ke Polandia tahun ini, rencananya, Oge baru akan masuk kuliah tahun depan. "Saya masih bingung, mungkin baru tahun depan, saya tahu mau kuliah di mana," katanya polos.
Berkat prestasinya, Oge sudah mengumpulkan berbagai hadiah, termasuk uang Rp 10 juta dari mendiknas, Rp 20 juta dari Gubernur Papua dan seperangkat komputer dari Dinas P dan K Provinsi Papua. "Tapi, komputernya belum saya terima," ujarnya sambil tersenyum

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

ILMUAN FISIKA ASAL PAPUA

Artikel-artikel populer :
» daftar artikel

Fisikawan dari Papua yang Membuana
Salomo Simanungkalit

INDONESIA berperadaban yang dicita-citakan masih dapat ditemukan pada Hans Jacobus Wospakrik. Tutur kata dan budi bahasa pria Papua ini sopan berbudaya. Jalannya tegap, setegak ia menjunjung tinggi rasio, kejujuran, dan keterbukaan dalam ilmu yang ia geluti dan kesehariannya, tetapi jauh dari kesan angkuh karena sorot matanya memancarkan kerendahan hati sekaligus ketetapan hati, katakanlah untuk hidup sebagai fisikawan sejati.

Berbicara dengan dosen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengenai fisika teori dan matematika murni adalah perjumpaan dengan keheningan dan kebeningan. Perburuan fisikawan sejagat dari segala abad untuk menjawab apa sebetulnya partikel elementer hingga penjelajahan ke alam semesta dengan teori medan dan geometri diferensial ia tuturkan dalam bahasa linguistis dan bahasa matematis yang bening. Suaranya hening berkarisma hingga pendengarnya dapat mempertahankan konsentrasi berjam-jam.

Kenikmatan menyimaknya, atau membantahnya bila perlu, tak terbatas di bilik kerjanya di kampus Ganesa, tetapi juga di ruang kuliah dan kolokium. Tentu ini tak mengherankan sebab ia kuyup dengan gagasan dan alat analitis yang kuantum, relativistik, maupun yang topologis untuk membuka rahasia kosmos-dari mikro sampai makro-sejak lulus S-1 dari ITB tahun 1976. Dibutuhkan kualifikasi intelijen yang jauh di atas rata-rata untuk tiba di sini.

HANS tak hanya punya kapasitas itu, sebutlah dengan yudisium cum laude saat wisuda sarjananya. Ia giat mengirim karyanya dan dimuat di jurnal berwibawa: Physical Review D dan Journal of Mathematical Physics.

Jadi, dia tak hanya cakap membahas dan mengunyah teori dan pencapaian fisika yang digarap orang lain, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan fisika yang tentu dibahas dan dikunyah sejawatnya di berbagai kawasan dunia, di mana fisika mendapat tempat yang patut.

Kesempatan kerja sama dengan Gerardus t'Hooft di Rijksuniversiteit Utrecht, Belanda (1980-1981), dilanjutkan dengan Martinus JG Veltman di University of Michigan, Ann Arbor, AS (1981-1982), menghasilkan Classical Equation of Motion of a Spinning Nonabelian Test Body in General Relativity atas nama Hans J Wospakrik sendiri di Physical Review D tahun 1982. Kita tahu Hooft dan Veltman mendapat Nobel Fisika (1999).

Yang terbaru adalah dua makalahnya tentang partikel model Skyrme yang dimuat di dua terbitan Journal of Mathematical Physics, (42) 2001 dan (43) 2002. Keduanya ia garap bersama promotornya, Prof Dr Wojtek Zakrzewski, selama studi PhD di Durham University, Inggris (1999-2002). Makalah dan pemuatannya di jurnal itu menjadi penting karena dua hal.

Pertama, model Skyrme adalah rute yang relatif baru untuk menjawab apa itu partikel setelah dua mazhab sebelumnya: partikel titik dan string. Jika partikel dianggap sebagai titik yang tak berdimensi dalam mazhab partikel titik, dan sebagai dawai berdimensi satu dalam mazhab string, maka model Skyrme yang nonlinier ini mengasumsikan partikel sebagai bola berdimensi tiga. Kini ketiga mazhab sedang bertarung, mana yang bakal berjaya menjawab tuntas apa yang harus dipunyai suatu partikel sehingga ia yang paling elementer dari segala yang renik.

Dibangun oleh Tom Skyrme dari Universitas Birmingham tahun 1959 selagi mengajar di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, pamornya tertekan oleh popularitas partikel titik, makin tertekan sebab string sempat menjanjikan sebagai kandidat yang bakal berhasil. Model Skyrme naik daun setelah Edward Witten dari Princeton dan AP Balachandran dari Syracuse, dua otoritas berwibawa, ikut menggarapnya. Pusat penggarapan yang intensif saat ini: Durham University tempat Hans menyelesaikan PhD tahun lalu.

Kedua, posisi internasional Hans cukup sentral dalam model Skyrme. Dia membuka jalur lain, mencari besaran fisika yang kekal menggunakan soliton topologi dan menyelesaikan persamaan nonlinier dengan mengelak masuk ke dalam perturbasi. Dengan itu, fisikawan kelahiran Serui, Papua, 10 September 1951, ini menembus Journal of Mathematical Physics yang sangat bergengsi. Rekannya di ITB mengatakan Hans orang pertama Indonesia yang tulisannya masuk di situ.

Dalam surat elektroniknya menjawab kami, Zakrzewski memandang Hans sebagai mahasiswa yang sangat pandai, inventif, banyak gagasan, dan sangat kuat matematikanya. Ia selalu siap memulai hitungan panjang dan rumit, membagi pekerjaan itu jadi unit kecil yang manageable, kemudian menggarapnya sampai menemukan jawaban terakhir.

"Pekerjaannya dalam Skyrmion masuk kategori top class," tulis Zakrzewski. "At the same time he was a very charming person, friendly, and helpful a great ambassador for his country."

DIKENAL lama sebagai fisikawan cemerlang, pada Hans timbul pertanyaan mengapa terlambat beroleh PhD. Barangkali ada soal birokrasi yang sulit dijelaskan hingga keberangkatannya tertunda. Namun, anak keempat dari 10 bersaudara pasangan Tom Wospakrik (yang guru) dan Lydia itu tak menyalahkan siapa pun. "Saya datang di Durham pada saat yang tepat ketika profesor saya memikirkan metode matematika mempelajari soliton berdimensi-N," katanya santun. "Kalau lebih awal, saya tidak kebagian. Datang terlambat, sudah diambil murid lain."

Dalam masa penantian untuk studi PhD, suami Regina Wospakrik-Sorentau dan ayah dari Willem (19) dan Marianette (17) itu tidak diam. Ia giat riset sendiri dan menghasilkan lima makalah, terbit di Physical Review D (1989), Modern Physics Letters A (1986 dan 1989), International Journal of Modern Physics (1991). Prestasi begini jarang dicapai fisikawan kita sekembali dari luar negeri.

Adalah Rebet Ratnadi, gurunya di SMA Negeri Manokwari, yang menggairahkannya belajar relativitas ketika memperkenalkan konsep garis lengkung (bukan garis lurus) sebagai penghubung terpendek dua titik. Sejak itu ia menetapkan pilihan pada Fisika dan melesat hingga mengenal dekat seluruh gagasan besar fisika partikel dan kosmologi.

Tak mengherankan kalau ia mencapai tahap "dapat melihat keindahan dalam fisika dan matematika". "Keindahan yang kita temukan dengan berkeringat itu mungkin sisa-sisa dari Taman Firdaus sebelum kita diusir Tuhan," katanya.

Khalayak dapat menikmati tuturannya yang terang mengenai relativitas umum melalui buku populer Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum Einstein dan Biografi Albert Einstein (Penerbit ITB, 1987). Skripsi sarjananya yang dibimbing Dr Jorga Ibrahim tentang teori besar ini di sekitar bintang bermuatan listrik. Di situ potret Einstein tersemat.

Anda pengagum berat Einstein?

Sebentar ia diam. Ia buka tasnya: naskah buku populer Dari Atomos hingga Quark yang belum ia serahkan kepada penerbit mana pun, tentang partikel elementer dari atom masa Democritos hingga quark yang dikenal di abad ke-20. "Dengan menulis buku ini, kekaguman saya kepada para fisikawan merata," katanya. "Einstein salah satu."

Hans tengah menyelesaikan makalah untuk dikirim ke Journal of Mathematical Physics. Usaha mengisi jurnal kelak bakal terhambat oleh tugas rutin: mengajar. Kalau ada dana, ia bisa terus bekerja membiakkan gagasan dan metode membongkar rahasia alam. Akan tetapi, untuk apa dana? Bukankah pekerjaan fisika teori tidak memerlukan laboratorium atau bahan, cukup dengan berpikir?

"Dana itu membuat kita tenang bekerja," katanya. "Yang membuat kita tidak tenang adalah soal underpaid itu."

Sumber : Kompas (29 Agustus 2003)

http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1063122744&55
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

PARA FISIKAWAN INDONESIA

Prof. Nelson Tansu, Ph.D

* Saturday Sep 13,2008 08:21 AM
* By san
* In Fisikawan Indonesia

Prof. Nelson Tansu, Ph.D dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, tanggal 20 Oktober 1977. Ia adalah lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan pada tahun 1995 dan juga menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Setelah menamatkan SMA, ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude.

Setelah menyelesaikan program S-1 pada tahun 1998, ia mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilih tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada bulan Mei 2003.

Selama menyelesaikan program doktor, Prof. Nelson memperoleh berbagai prestasi gemilang di antaranya adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires juga meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.

Setelah memperoleh gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai universitas ternama di Amerika Serikat. Akhirnya pada awal tahun 2003, ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and computer engineering, Lehigh University. Lehigh University merupakan sebuah universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Amerika Serikat.

Saat ini Prof. Nelson menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3) dan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya telah dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, baik di berbagai kota di AS dan luar AS seperti Kanada, Eropa dan Asia. Prof Nelson telah memperoleh 11 penghargaan dan tiga hak paten atas penemuan risetnya. Ada tiga penemuan ilmiahnya yang telah dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.

Ketika masih di Sekolah Dasar, Prof. Nelson gemar membaca biografi para fisikawan ternama. Ia sangat mengagumi prestasi para fisikawan tersebut karena banyak fisikawan yang telah meraih gelar doktor, menjadi profesor dan bahkan ada beberapa fisikawan yang berhasil menemukan teori (eyang Einstein) ketika masih berusia muda. Karena membaca riwayat hidup para fisikawan tersebut, sejak masih Sekolah Dasar, Prof. Nelson sudah mempunyai cita-cita ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat.

Walaupun saat ini tinggal di Amerika Serikat dan masih menggunakan passport Indonesia, Prof. Nelson berjanji kembali ke Indonesia jika Pemerintah Indonesia sangat membutuhkannya.

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Prof. Hans Wospakrik

* Friday Aug 8,2008 11:41 AM
* By san
* In Fisikawan Indonesia

Prof. Hans Jacobus Wospakrik dilahirkan di Serui, Papua, tanggal 10 september 1951. Setelah menamatkan sekolah menengah, ia melanjutkan pendidikan pada jurusan Pertambangan, Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1971. Karena tidak diminatinya, Hans pindah ke jurusan Fisika dan menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 1976. Pada akhir tahun 1970-an, ia pergi ke Belanda dalam rangka menyelesaikan pendidikan pasca sarjana di bidang fisika teoritis. Pada tahun 1999 Hans juga pergi ke Universitas Durham, Inggris dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 2002.

Pada awal tahun 1980-an, sambil melanjutkan studi pasca sarjananya, Hans pernah mengadakan riset bersama Martinus J.G. Veltman di Utrecht, Belanda. Veltman adalah Fisikawan peraih nobel fisika tahun 1999. Ketika pindah ke Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat, Veltman ngotot mengajak Hans untuk bersama-sama dengannya melakukan riset di sana. Hal ini menunjukan bahwa Hans adalah fisikawan yang cemerlang.

Hans Wospakrik adalah mantan seorang fisikawan Indonesia yang merupakan dosen fisika teoritik di Institut Teknologi Bandung. Hans adalah seorang yang mendapatkan penghargaan fisikawan terbaik oleh Universitas Atma Jaya Jakarta atas pengabdian, konsistensi, dan pengorbanannya yang tinggi dalam penelitian di bidang fisika teori. Ia memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika dunia berupa metode-metode matematika guna memahami fenomena fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein. Hasil-hasil penelitiannya ini dipublikasikannya di jurnal-jurnal internasional terkemuka, seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A.

Dengan tujuh hasil penelitian yang menembus jurnal internasional terkemuka, tiga hasil penelitian diterbitkan jurnal online yang bersifat internasional, tak terhitung penelitiannya yang diterbitkan jurnal dan prosiding dalam negeri, serta menghabiskan waktu sebagai pegawai negeri mengajar dan membimbing mahasiswa di ITB, Dr Hans J Wospakrik yang meninggal pada 11 Januari 2005 dihargai pemerintah hanya sampai golongan IV-A, lektor kepala. Setelah mengetahui publikasi Hans yang menembus Physical Review D, padahal waktu itu Hans masih dengan gelar sarjana, belum PhD, Prof Dr Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Kyoto, Jepang geleng-geleng kepala mengetahui Hans hanya dihargai pemerintah dengan golongan pangkat yang tidak memadai. Prof Dr Ryu Sasaki mengatakan bahwa bila menggunakan syarat-syarat di Jepang, Hans adalah satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang berhak mendapat gelar profesor.

Santun, ramah, dan penolong. Inilah kesan yang dibawa setiap orang yang pernah berjumpa dengan Hans. Sikap ini tidak hanya diperlihatkannya secara alami kepada rekan-rekannya sesama pengajar, tetapi juga kepada mahasiswa-mahasiswanya. Sebagian besar kawan-kawannya dan mahasiswanya mengatakan belum pernah melihat Hans marah. Paling-paling dia diam kalau ada yang tidak berkenan di hatinya. Diam itu pun biasanya segera cair.

Sebagai pegawai negeri, Hans memperlihatkan hubungan berbanding langsung antara gaji dan kehidupan. Pada sebagian besar pegawai negeri, hubungan gaji dan kehidupan adalah berbanding terbalik sebab dengan gaji kecil (gaji pokok pegawai dengan golongan tertinggi IV-E tidak lebih dari Rp 4 juta), banyak pegawai negeri punya rumah lebih dari satu, mobil lebih dari satu, deposito dalam orde miliar rupiah. Hans selama hidupnya sebagai pegawai negeri tidak sempat memiliki rumah, tidak pernah memiliki mobil, bahkan sepeda motor. Setiap tahun ia harus memperbarui kontrak rumahnya, ke kampus naik angkot. Tak jarang ia pulang malam dari kampus jalan kaki setelah menempuh tujuh kilometer sebab angkot menuju rumahnya sudah tidak beroperasi lagi. Dalam hal ini, satu lagi predikat harus disematkan ke pundaknya : Pegawai Negeri Terbaik.

Kebaikan-kebaikannya inilah yang menumbuhkan pilu ketika menyaksikan bagaimana rumah sakit memperlakukan seorang fisikawan Indonesia yang luar biasa ini di akhir hidupnya. Karena kekurangan uang panjar, dua hari pertama Hans yang menderita leukemia itu tidak mendapatkan obat dari rumah sakit tempat ia terakhir dirawat. Begitu ada uang tambahan, barulah rumah sakit mulai memberikan obat. Beberapa jam setelah itu Hans mengembuskan napasnya yang terakhir. Di kamar jenazah, tubuh Hans harus menunggu suntik formalin karena keluarga harus pontang-panting mengumpulkan uang sebanyak Rp 1 juta. Kartu kredit tidak berlaku di ruang jenazah itu. Dokter menunggu uang terkumpul. Untung ada Karlina Supelli, seorang yang bertanya ke dokter, “Saya punya beberapa dollar dan rupiah yang kalau dikumpulkan sekitar Rp 1 juta. Apakah ini dapat diterima?” Sang dokter langsung memungut uang itu dan formalin seketika disuntikkan. Karlina adalah adik kelas Hans di ITB. Karlina di Departemen Astronomi, Hans di Departemen Fisika. Keduanya mendalami kosmologi. Keduanya menulis skripsi dengan pembimbing yang sama: Dr Jorga Ibrahim. Keduanya lulus cum laude.

Dari Atomos Hingga Quark adalah sebuah buku hasil karya Hans yang menceritakan mengenai pencarian manusia sepanjang sejarah mengenai penyusun terkecil dari materi-materi alam ini. Berawal dari Yunani di mana para filsuf saat itu berfilsafat mengenai penyusun terkecil setiap materi, Jazirah Arab yang disinggung oleh Hans sebagai pemegang “obor pengetahuan” berikutnya setelah Yunani, ilmu alkemi, reaksi nuklir yang “menceritakan” pada kita tentang keberadaan atom, proton dan neutron, sampai temuan saat ini mengenai satuan materi yang lebih kecil, yaitu quark. Pada halaman depan buku tersebut, Prof. Dr. Martinus J.G. Veltman mengatakan : “Dari publikasinya … saya lihat dia betul-betul terus bekerja sebaik mungkin dalam teori partikel. Orang seperti Hans besar sekali nilainya buat negeri yang mulai memasuki komunitas riset dunia. Kita merasa kehilangan”. Dia adalah ilmuwan terbaik (Indonesia) yang pernah kita miliki.


IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Prof. Yohanes Surya

* Friday Aug 8,2008 11:31 AM
* By san
* In Fisikawan Indonesia

Prof. Yohanes Surya dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 november 1963. Setelah menyelesaikan kuliah pada Jurusan Fisika Universitas Indonesia tahun 1986, ia mengajar di SMAK I Penabur Jakarta sampai tahun 1988. Professor Yohanes Surya Ph. D adalah seorang fisikawan lulusan William and Mary College Amerika Serikat. Program Masternya diselesaikannya pada tahun 1990 dan program doktor dalam bidang fisika nuklir pada tahun 1994 dengan predikat summa cum laude. Kesempatan untuk memperdalam ilmu fisika di William and Mary College diperolehnya melalui program beasiswa. Ketika masih kuliah di Universitas Indonesia, Prof. Yohanes Surya juga sering mendapat beasiswa. Hal ini dilatarbelakangi oleh kemampuan intelektual yang cemerlang dan didukung oleh kerja keras dalam mengembangkan talenta yang dimilikinya. Walaupun sudah mendapatkan ijin tinggal dan bekerja di Amerika Serikat, Prof. Yohanes memilih untuk pulang ke Indonesia, dengan tujuan ingin mengharumkan nama bangsa Indonesia melalui Olimpiade Fisika.

Prof. Yohanes adalah fisikawan pendidik dan peneliti selebritis di Indonesia. Ia menjadi terkenal karena membimbing murid-murid cemerlang sekolah menengah Indonesia masuk pada komunitas fisika pemula antarbangsa melalui Olimpiade Fisika Internasional dan kompetisi riset fisikawan muda berkelas dunia : The First Step to Nobel Prize in Physics. Gagasan untuk membentuk Tim Olimpiade Indonesia (TOFI), yang kemudian membuatnya menjadi sangat terkenal, berawal ketika ia masih kuliah di Virginia, Amerika Serikat. Ide yang dicetuskan bersama temannya Agus Ananda ini medapat dukungan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional dan Fakultas Fisika Universitas Indonesia. Pada tahu 1993, Fakultas Fisika Universitas Indonesia bersama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional menyaring lima pelajar terbaik yang kemudian dikirim ke Virginia, Amerika, tempat para mahasiswa tingkat doktoral ini belajar guna dilatih untuk mengikuti Olimpiade Fisika International yang akan berlangsung di William and Mary College. Walaupun Indonesia baru pertama kali mengikuti Olimpiade Fisika Internasional, tim ini berhasil memenangkan Medali Perunggu atas nama Oki Gunawan dari SMAN 78 Jakarta. Sepulangnya ke Indonesia, para mahasiswa ini bersama dengan Roy Sembel dan Joko Saputro mendirikan Tim Olimpiade Fisika dengan membawa serta nama Indonesia, menjadikannya Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Sejak pertama kali mengikuti Olimpiade Fisika, Tim Indonesia selalu memperoleh penghargaan. Medali emas pertama kali diperoleh di Padova, Italia, pada tahun 1999. Perolehan medali emas merupakan tujuan awal yang telah menjadi tradisi TOFI dalam mengikuti kompetisi bergengsi ini. Pengalaman mengikuti olimpiade dengan prestasi membanggakan itu memudahkan Prof. Yohanes menghubungi perguruan tinggi papan atas AS melamar tempat belajar sekaligus beasiswa bagi alumni TOFI. Beberapa alumni TOFI yang belajar di Universitas papan atas di dunia tersebut sedang dibimbing oleh Fisikawan Peraih Nobel. Hal ini merupakan kesempatan yang baik bagi orang Indonesia untuk memperoleh Nobel Fisika. Nobel adalah penghargaan yang sangat bergengsi, karenanya apabila Orang Indonesia berhasil meraih nobel, maka terbuka kesempatan bagi Indonesia menjadi negara yang cepat Maju dan terdepan dalam teknologi.

Selain membimbing Tim Olimpade Fisika Indonesia, Prof. Yohanes Surya juga sering mengadakan pelatihan guru fisika dan matematika di seluruh pelosok Indonesia, baik di kota-kota besar, kotamadya/kabupaten hingga ke desa-desa. Ia juga menjadi penulis buku yang produktif untuk bidang Fisika dan Matematika. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Mestakung. Selain menulis buku, banyak artikel fisika yang ditulisnya dimuat di jurnal ilmiah nasinal mapun internasional, serta surat kabar terkenal di Indonesia. Beliau adalah pencetus istilah MESTAKUNG dan pembelajaran GASING (Gampang, Asyik dan Menyenangkan).

Selain sebagai penulis, Prof. Yohanes juga menjadi narasumber berbagai program pengajaran sekolah dasar dan menengah. Ia juga ikut memproduksi berbagai program televisi pendidikan, di antaranya “Petualangan di Dunia Fantasi” dan “Tralala-Trilili” di RCTI.

Selain aktivitasnya di atas, Prof. Yohanes juga terlibat dalam kepengurusan Organisasi Internasional, di antaranya adalah Board Member of The International Physics Olimpad, The First Step to Nobel Prize, The First Asian Physics Olimpiad, executive member of the Word Physics Federation Competition, Asian Science Camp. Selain itu, memimpin pusat penelitian nanoteknologi dan bioteknologi, The Mochtar Riady Center for Nanotechnology and Bioengineering di Karawaci, Tangerang.

Sudah banyak penghargaan yang diperoleh Profesor Yohanes Surya setelah bekerja keras dalam membimbing para pelajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya bidang fisika, di antaranya adalah CEBAF/AWARD AS 1992/1993 (salah satu mahasiswa terbaik dalam bidang fisika nuklir pada wilayah tenggara Amerika Serikat, Penghargaan Kreativitas 2005 dari Yayasan Pengembangan Kreativitas, anugerah Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden Bambang Susilo Yudoyono, penghargaan penulis Best Seller tercepat di Indonesia untuk buku “Mestakung” yang ditulisnya.

Yohanes Surya merupakan Guru Besar fisika dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas Sains dan Matematika Universitas Pelita Harapan, Kepala Promosi dan Kerjasama, Himpunan Fisika Indonesia (2001-2004), juri berbagai lomba sains dan matematika, anggota Dewan Kurator Museum Iptek Taman Mini Indonesia Indah, salah satu pendiri The Moctar Riady Institut, Anggota Dewan Wali Amanah Sekolah Tinggi Islam Assalamiyah Banten, Fisikawan rombongan pertama yang membawa ekonofisika, cabang ilmu yang mengawinkan fisika dan ekonomi, di Indonesia dan Rektor Universitas Multimedia Nusantara (Kompas Gramedia Group), serta asyik mengkampanyekan cinta fisika di seluruh Indonesia.

Pesan Kehidupan

Pesan kehidupan apa yang diperoleh setelah membaca riwayat Prof. Yohanes Surya di atas ?

1. hal yang paling menarik untuk diperhatikan adalah ketika berada di Virginia, Amerika Serikat. Ketika itu, Prof. Yohanes Surya telah menyelesaikan program Doktor dan sempat bekerja di Amerika Serikat. Walaupun sudah mendapat ijin tinggal dan kerja di Amerika Serikat, Prof. Yohanes lebih memilih untuk kembali ke Indonesia dan mengharumkan nama bangsa melalui Tim Olimpiade Fisika Indonesia didirikannya. Semangat nasionalis atau cinta tanah air dan bangsa yang ditunjukkan oleh Prof. Yohanes patut kita tiru. Sebagai warga negara Indonesia, kita harus bangga dan tetap mencintai negara kita, serta berusaha untuk memajukan kehidupan bangsa, sesuai dengan bakat dan kemampuan kita.

2. Tekun dan Kerja Keras merupakan dua hal yang dimiliki oleh Prof. Yohanes Surya. Memiliki bakat atau kemampuan otak yang pintar belum cukup jika tidak disertai ketekunan dan kerja keras. Sejak masih kuliah di Universitas Indonesia, Prof. Yohanes sudah sering mendapat beasiswa. Hal ini berlanjut hingga kuliah di Amerika Serikat. Demikian juga keberhasilannya dalam membimbing Tim Olimpiade Fisika Indonesia, serta berbagai penghargaan dan keikutsertaannya dalam organisasi Ilmu Pengetahuan, baik di tingkat Nasional maupun Internasional. Hal ini tentu saja tidak dapat diperoleh tanpa usaha sungguh-sungguh, tekun dan kerja keras.

3. Sikap saling menolong. Melalui bimbingannya, Prof. Yohanes Surya secara tidak langsung telah menolong banyak pelajar sekolah menengah yang cemerlang untuk belajar di Universitas Terkenal di Dunia, melalui program beasiswa. Hal ini sangat membantu para pelajar sekolah menengah Indonesia yang berbakat namun memiliki kesempatan yang terbatas untuk mendalami pengetahuan di Univesitas yang berkualitas, karena faktor biaya.

4. Kemauan keras untuk mengubah nasib. Ketika masih kuliah di Universitas Indonesia, Prof. Yohanes Surya sering mendapat beasiswa untuk meringankan beban ekonomi yang dialaminya. Kerja keras dan ketekunannya dalam belajar akhirnya membuatnya mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat. Hal ini tidak dapat tercapai jika tidak disertai keinginan kuat untuk mengubah nasib. Ingat bahwa Prof. Yohanes juga berasal dari keluarga menengah ke bawah. Setelah menamatkan kuliah di UI, beliau sempat mengajar di SMAK I Penabur Jakarta, lalu melanjutkan kuliah di Amerika Serikat karena program beasiswa.

Masih banyak hal yang dapat kita petik dari riwayat hidup Prof. Yohanes Surya. Mari kita teladani hal-hal baik yang telah ditunjukkan oleh Prof. Yohanes Surya.


IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII

Prof. Pantur Silaban, Ph.D

* Friday Aug 8,2008 11:23 AM
* By san
* In Fisikawan Indonesia

Prof. Pantur Silaban, Ph.D, dilahirkan di Sidikalang, Dairi, Sumartera Utara, tanggal 11 november 1937. Setelah menamatkan SMA, Pantur Silaban merantau ke Jakarta dengan tujuan awal ingin masuk sekolah tinggi teologi. Niatnya ini tidak tercapai karena beliau sakit ketika mempersiapkan diri mengikuti tes masuk sekolah tinggi teologi. Akhirnya ia masuk program studi teknik fisika teoretik Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga memperoleh gelar Doktorandus (Drs). Pada tahun 1964 ia diangkat menjadi staf pengajar Jurusan Fisika. Dua tahun kemudian, tepatnya bulan desember 1966, ia memperoleh beasiswa United States Agency For International Developments (USAID) untuk melanjutkan pendidikan di Graduate School, Syracuse University, New York dan menekuni Teori Relativitas Umum. Sekolah itu berada di bawah Universitas Syracuse, New York dan termasyhur sebagai pusat studi gravitasi dan Relativitas Umum yang pertama dan terkemuka di dunia, bahkan sampai saat ini. Gelar Ph.D diperolehnya di universitas yang sama, pada tanggal 12 Juni 1971.

Pantur Silaban adalah orang Indonesia pertama yang mendalami teori peninggalan Einstein tersebut. Untung baginya sebab Bergmann bersedia menjadi ko-pembimbing untuk disertasinya. Dengan demikian, Pantur merupakan fisikawan Indonesia yang berguru langsung kepada murid dan kolega Einstein dalam Relativitas Umum. Ia merupakan satu dari 32 mahasiswa dari seluruh dunia yang mempelajari Relativitas Umum di Syracuse dengan Bergmann sebagai pembimbing atau ko-pembimbing dalam kurun tahun 1947-1982. Tak salah jika orang menyebutnya sebagai cucu murid Einstein. Selain Bergmann, Prof. Pantur Silaban juga dibimbing oleh Joshua N. Goldberg, pembimbing yang lebih muda dari Bergmann, tapi juga raksasa dalam Relativitas Umum. Peter Gabriel Bergmann dan Joshua N. Goldberg adalah otoritas Teori Relativitas Umum setelah pencetusnya, Einstein.

Setahun setelah menyelesaikan disertasinya, Pantur kembali di Bandung pada tahun 1972 dan mengajar di Jurusan Fisika ITB. Sebagai seorang dosen, Pantur adalah pembicara ulung. Ia hadir di kelas hanya dengan membawa kapur. Selalu saja ada ilustrasi-ilustrasi selama kuliahnya untuk memudahkan mahasiswa menangkap konsep fisika yang rumit, demikian juga rasa humornya yang khas. Pantur Silaban dikukuhkan sebagai guru besar ITB dalam fisika teoretis pada Januari 1995. Ia memasuki masa pensiun pada tanggal 11 November 2002.

Prof. Pantur Silaban mempunyai peran yang besar dalam membangun komunitas fisika teori di Indonesia, di mana salah satu anggotanya adalah fisikawan Hans Jacobus Wospakrik (almarhum), yang juga murid Prof. Pantur silaban ketika Hans kuliah di ITB. Sebuah risetnya setelah disertasinya dimuat di Journal of General Relativity and Gravitation. Makalah-makalahnya mengenai teori gravitasi dan fisika partikel elementer juga dimuat di berbagai prosidings dalam dan luar negeri. Sebagai seorang fisikawan teoretis, selain relativitas umum, Pantur juga menekuni fisika partikel elementer. Beberapa kali beliau diundang sebagai pembicara di International Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan fisikawan Pakistan pemenang Nobel Fisika, Abdus Salam.

Karena referensi dalam bahasa Indonesia untuk fisika teori sangat minim, pada tahun 1979 Pantur Silaban menerbitkan buku daras Teori Grup dalam Fisika. Kemudian ia menerbitkan buku Tensor dan Simetri. Pertengahan 1980-an, bekerja sama dengan Penerbit Erlangga, ia menerjemahkan banyak buku tentang teknologi mesin, elektroteknik, dan matematika yang dipakai perguruan-perguruan tinggi terbaik dunia.

IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
Postingan yang berkaitan :

* Prof. Nelson Tansu, Ph.D
* Prof. Hans Wospakrik
* Prof. Yohanes Surya


http://www.gurumuda.com/category/tokoh-fisika/fisikawan-indonesia